Laman

Saturday 2 July 2016

Makalah Kemiskinan

MAKALAH
KEMISKINAN


Diajukan untuk memenuhi tugas mata pelajaran IPS
  

  
Disusun Oleh :

..................................................

  

SEKOLAH ..............................
Tahun .............................




KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kekhadirat Allah SWT, Tuhan yang telah memberikan beragam nikmat-Nya kepada kita semua sehingga Alhamdulillah kami diberikan kelancaran dalam membuat makalah yang berjudul “Kemiskinan”. Salawat dan salam semoga selamanya tercurah dan terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya serta seluruh umatnya termasuk kita yang akan melanjutkan perjuangan dakwahnya semoga kita akan mendapatkan safa’atnya nanti diakhirat, amin.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada seluruh pihak yang telah mendukung terselesaikanya makalah ini.
Saya menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena saya pun masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Semoga Makalah ini memberikan manfaat yang besar bagi kita semua. Amin.



PENULIS



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Study mengenai jumlah kemiskinan di Indonesia telah berusaha di ungkap oleh BPS sejak tahun 1984. Penelitian BPS tentang kemiskian absolute menyatakan bahwa dewasa ini penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan dengan menggunakan criteria pengeluaran per kapita perbulan.
Sedangkan menurut data dari BPS Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2009 sebesar 323,17 ribu orang (3,62 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2008 sebesar 379.6 ribu orang (4,29 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 57,45 ribu (0,67 persen).
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa laju penurunan jumlah pendusuk miskin begitu cepat di pedesaan di banding di perkotaan di sebabkan oleh adanya arus urbanisasi dari desa ke kota. Kendatipun harus diakui bahwa secara agregat penurunan jumlah penduduk miskin tersebut sebagai dampak langsung maupun tidak langsug dari berbagai kebijaksanaan penmbangunan yang telah dilaksanakan selama ini.

1.2    Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara lebih spesifik mengenai masalah-masalah kemiskinan di daerah DKI Jakarta dan bagaimana cara mengatasi atau menaggulangi masalah kemiskinan diantaranya kebijakan untuk masalah kemiskinan, dan bagaimana kemiskinan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat di Indonesia.




BAB II
KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN

2.1    Kajian Teori
2.1.1   Definisi Kemiskinan
Menurut Yuna Farhan, 2006 (sebagaimana dikutip Zada, Kompas, 13 November 2007), kemiskinan adalah :
“Persoalan yang sangat kompleks, tidak semata-mata berhubungan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, namun berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, akses kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam dalam proses pengambilan keputusan publik, ketidakmampuan menyampaikan aspirasi, serta berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan manusia.”

Senada dengan pandangan Farhan, Gregorius Sahdan (Jurnal Ekonomi Rakyat, Maret  2005) menyebut kemiskinan sebagai konsep yang sangat beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ia menyitir pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Definisi kemiskinan konsumsi sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi definisi ini sangat kurang memadai dalam menjelaskan kemiskinan karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
Dalam pandangan modern, kemiskinan dalam berbagai bidang sebagaimana disebut sebagai kemiskinan plural karena ditanggung secara bersama-sama dalam satu komunitas. Sekurang-kurangnya ada 6 macam kemiskinan yang ditanggung komunitas, yaitu: 1). Kemiskinan sub-sistensi, yaitu penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal; 2). Kemiskinan perlindungan, yakni lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah; 3). Kemiskinan pemahaman: kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan; 4). Kemiskinan partisipasi, yang berarti tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas; 5). Kemiskinan identitas, yaitu terbatasnya perbauran antar kelompok sosial, terfragmentasi;  6). Kemiskinan kebebasan, yang ditandai dengan tingginya stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.
Dalam kaitan pendefinisian kemiskinan yang kompleks ini, BAPPENAS (2001) mendefinisikan kemiskinan secara lebih komprehensif, dengan melihat kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat tersebut antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.

2.1.2 Teori Kemiskinan
Seperti diketahui, terdapat banyak teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Teori-teori tersebut antara lain:
1.    Teori Neo-Liberal.
Shanon, Spicker, Cheyne, O’Brien dan Belgrave (2006) berargumen bahwa kemiskinan merupakan :
Persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan dan pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang sendirinya jika kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat residual sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok swadaya atau lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai penjaga yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya.

2.    Teori Sosial Demokrat
Teori ini memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individu, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses kelompok kepada sumber kemasyarakatan. Teori sosial demokrat menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar bagi seluruh warga negara dan dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi manajemen permintaan gaya Keynesian. Meskipun teori ini tidak setuju sepenuhnya terhadap pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak anti sistem ekonomi kapitalis. Bahkan kapitalis masih dipandang sebagai bentuk organisasi ekonomi yang paling efektif. Hanya saja sosial demokrat merasa perlu ada sistem negara yang mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pendukung sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki sumber kesejahteraan. Kebebasan lebih dari sekedar bebas dari pengaruh luar, melainkan bebas pula dalam menentukan pilihan.

3.    Teori Marjinal
Teori ini berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi dikarenakan adanya kebudayaan kemiskinan yang tersosialisasi di kalangan masyarakat tertentu.
Oscar Lewis (1966) adalah tokoh dari aliran teori marjinal. Konsepnya yang terkenal adalah Culture of Poverty. Lewis mengatakan bahwa :
“Masyarakat di dunia menjadi miskin karena adanya budaya kemiskinan dengan karakter apatis, menyerah pada nasib, sistem keluarga yang tidak mantap, kurang pendidikan, kurang ambisi membangun masa depan, kejahatan dan kekerasan banyak terjadi.”

Ada dua pendekatan perencanaan yang bersumber dari pandangan teori marjinal:
a.    Prakarsa harus datang dari luar komunitas;
b.  Perencanaan harus berfokus pada perubahan nilai, karena akar masalah ada pada nilai.

4.    Teori Development
Teori Developmental (bercorak pembangunan) muncul dari teori-teori pembangunan terutama neo-liberal. Teori ini mencari akar masalah kemiskinan pada persoalan ekonomi dan masyarakat sebagai satu kesatuan.

Ada tiga asumsi dasar dari teori ini:
a. Negara menjadi miskin karena ketiadaan atribut industrialisasi, modal, kemampuan manajerial, dan prasarana yang diperlukan untuk peningkatan ekonomi.
b.  Pertumbuhan ekonomi adalah kriteria utama pembangunan yang dianggap dapat mengatasi masalah-masalah ketimpangan.
c. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya bila pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya.
Ketiga asumsi tersebut memperlihatkan bahwa kemiskinan yang terjadi bukanlah persoalan budaya, sebagaimana anggapan teori marjinal melainkan adalah persoalan ekonomi dan pembangunan.

5.    Teori Struktural
Teori ini didasari oleh pemikiran yang berasal dari teori ketergantungan yang diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank (1967), Capitalism and the Underdevelopment in Latin America, dan juga oleh Teothonio Dos Santos dan Samir. Andre Gunder Frank mengatakan bahwa :
“Teori struktural berasumsi bahwa kemiskinan terjadi bukan karena persoalan budaya dan pembangunan ekonomi, melainkan politik-ekonomi Dunia.”
Teori ketergantungan mengajukan tiga asumsi utama:
a.    Dunia didominasi oleh suatu perekonomian tunggal sedemikian rupa sehingga semua negara di dunia diintegrasikan ke dalam lingkungan produksi kapitalisme yang menyebabkan keterbelakangan di negara miskin.
b.    Negara-negara inti menarik surplus dari negara miskin melalui suatu matarantai metropolis-satelit.
c.    Sebagai akibatnya negara miskin menjadi semakin miskin dan negara kaya semakin kaya.
Dengan berdasar pada asumsi teori ketergantungan tersebut teori struktural mengajukan asumsi bahwa kemiskinan di dunia harus dilihat pada suatu konstelasi ekonomi internasional dan struktur politik global yang menerangkan bahwa ketergantungan yang menjadi penyebab negara terbelakang dan masyarakatnya menjadi miskin.

6.    Teori Artikulasi Moda Produksi
Teori ini adalah salah satu teori yang dikembangkan oleh Pierre Phillipe Rey, Meillassoux, Terry, dan Taylor, dari pemikiran karya Karl Marx dan Frederic Engels mengenai Moda Produksi (Mode of Production). Teori ini berasumsi bahwa :
“Reproduksi kapitalisme di negara-negara miskin terjadi dalam suatu simultanitas tunggal di mana pada sisi negara miskin terjadi artikulasi dari sedikitnya dua moda produksi (moda produksi kapitalis dan pra-kapitalis). Koeksistensi dari kedua moda produksi tersebut menghasilkan eksploitasi tenaga kerja murah dan problem akses bagi kelompok masyarakat miskin yang masih tetap berada dalam ranah moda produksi pra-kapitalis.”

Strategi penanganan kemiskinan yang ditawarkan oleh teori artikulasi moda produksi dikenal dengan person in environtment dan person in situation yang dianalogikan sebagai strategi ikan-kail memberikan keterampilan memancing, menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan oleh kelompok elit dalam masyarakat, dan mengupayakan perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan.
Teori artikulasi moda produksi melandasi dua macam pendekatan yaitu moderat (pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial, program jaminan perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial, program pemberdayaan masyarakat) dan radikal (di dalam masyarakatlah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan yang menyebabkan taraf hidup sebagian masyarakat tetap rendah sehingga kebijakan paling tepat adalah reformasi dan transformasi).

2.1.3 Penyebab Kemiskinan
Setiap permasalahan timbul pasti karena ada faktor yang mengiringinya yang menyebabkan timbulnya sebuah permasalahan, begitu juga dengan masalah kemiskinan yang dihadapi oleh negara indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut Hartomo dan Aziz dalam Dadan Hudyana (2009:28-29) yaitu :
1.   Pendidikan yang Terlampau Rendah
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang menyebabkan keterbatasan kemampuan seseorang untuk masuk dalam dunia kerja.
2.    Malas Bekerja
Adanya sikap malas (bersikap pasif atau bersandar pada nasib) menyebabkan seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja.
3.    Keterbatasan Sumber Alam
Suatu masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Hal ini sering dikatakan masyarakat itu miskin karena sumberdaya alamnya miskin.
4.    Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal seseorang harus mampu menciptakan lapangan kerja baru sedangkan secara faktual hal tersebut sangat kecil kemungkinanya bagi masyarakat miskin karena keterbatasan modal dan keterampilan.

5.    Keterbatasan Modal
Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh penghasilan.
6.    Beban Keluarga
Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha peningakatan pendapatan akan menimbulkan kemiskinan karena semakin banyak anggota keluarga akan semakin meningkat tuntutan atau beban untuk hidup yang harus dipenuhi.

Suryadiningrat dalam Dadan Hudayana (2009:30), juga mengemukakan bahwa :
“ Kemiskinan pada hakikatnya disebabkan oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Penganiayaan manusia terhadap diri sendiri tercermin dari adanya :
1) keengganan bekerja dan berusaha,
2) kebodohan,
3) motivasi rendah,
4) tidak memiliki rencana jangka panjang,
5) budaya kemiskinan, dan
6) pemahaman keliru terhadap kemiskinan.”

Sedangkan penganiayaan terhadap orang lain terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja dan berusaha akibat :
1. ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang memerlukan atau orang tidak mampu dan
2. kebijakan yang tidak memihak kepada orang miskin.

Kartasasmita dalam Rahmawati (2006:4) mengemukakan bahwa, kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya yaitu :

1.  Rendahnya Taraf Pendidikan
Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan meyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan seseorang untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2.  Rendahnya Derajat Kesehatan
Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.
3. Terbatasnya Lapangan Kerja
Selain kondisi kemiskinan dan kesehatan yang rendah, kemiskinan juga diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan.
4.  Kondisi Keterisolasian
Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya.
Nasikun dalam Suryawati (2005:5) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu :
1.    Pelestarian Proses Kemiskinan Proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan.
2.    Pola Produksi Kolonial
Negara ekskoloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor. 
3.    Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Adanya unsur manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
4.    Kemiskinan Terjadi Karena Siklus Alam.
Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
5.    Peminggiran Kaum Perempuan
Dalam hal ini perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
6.    Faktor Budaya dan Etnik
Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan seperti, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.

2.1.4 Dampak Dari Kemiskinan Terhadap Masyarakat
Banyak dampak yang terjadi yang disebabkan oleh kemiskinan diantaran adalah sebagai berikut:
1.    Kesejahteraan masyarakat sangat jauh dari sangat rendah
Ini berarrti dengan adanya tingkat kemiskian yang tinggi banyak masyarakat Indonesia yang tidak memiliki pendapatan yang mencukupi kebutuhan hidup masyarakat.
2.    Tingkat kematian meningkat, ini dimksudkan bahwa masy6arakat Indonesia banyak yang menagalmi kemtain akibat kelaparan atau melakukan tindakan bunuh diri karena tidak kuat dalam menjalani kemiskinan yang di alami.
3.    Banyak penduduk Indonesia yang kelaparan karena tidak mampu untuk membeli kebutuha akan makanan yang merka makan sehari-hari
4.    Tidak bersekolah (tingkat pendidikan yang rendah) ini menyebnabkan masyarakat si Indonesia tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk memperoleh pekerjaan dan tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk memperoleh pendapatan
5.    Tingakat kejahatan meningkat , Masyarakat Indonesia jadi terdesak untuk memperoleh pendapatan dengan cara-cara kejahatan karena dengan cara yang baik mereka tidak mempunyai modal yaitu ilmu dan ketermpilan yang cukup.

2.1.5 Strategi Pengentasan Kemiskinan
Di Indonesia, sampai dengan tahun 2011, tingkat kemiskinan nasional telah dapat diturunkan menjadi 12,49 persen dari 13,33 persen pada tahun 2011 (gambar 1).

Dengan ditambah tumbuhnya perekonomian Indonesia pada tahun 2011 sebesar 6,5 persen dibanding tahun 2010, seharusnya tingkat kemiskinan nasional dapat turun lebih jauh lagi. Tetapi, apa yang terjadi ialah terlihat bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak menjamin tiadanya sejumlah kemiskinan, terutama kemiskinan absolut. Ditambah dengan melebarnya jarak antara golongan kaya dengan golongan miskin. Hal inilah yang sekarang terjadi di Indonesia pada saat ini.
Lalu pertanyaannya ialah apakah pemerintah Indonesia sudah melakukan cara untuk mengentaskan kemiskinan secara maksimal? Jawabannya adalah sudah. Sejujurnya, sudah banyak cara yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi kemiskinan, seperti melakukan pengembangan tenaga kerja, mendorong program pembangunan ekonomi, mendorong upah minimum, dan masih banyak lagi. Tetapi, menurut pendapat saya, ada tiga cara yang bisa diambil oleh pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan secara efektif, diantaranya ialah :

1.    Peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat
Sebetulnya, pemerintah Indonesia telah membuat banyak program dan anggaran yang besar untuk penganggulangan kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Tetapi, hal itu belum saja cukup, sebab strategi yang ada tidak dijalankan secara maksimal, sebab adanya miskoordinasi atau penyelewengan dana yang digunakan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan oleh pihak-pihak tertentu. Maka seharusnya pemerintah memimpin langsung upaya pengentasan kemiskinan, dari mulai perencanaan, distribusi, sampai bagaimana implementasinya di lapangan. Pemerintah juga harus melakukan perluasan dan percepatan program pengentasan kemiskinan dan  mengintensifkan  program-program penanggulangan kemiskinan  yang  belum dilaksanakan secara maksimal. Disamping itu, pemerintah pusat dan daerah juga harus saling bekerjasama, agar jarak kemiskinan antara kota dan desa dapat dipersempit. Alangkah baiknya lagi apabila program pengentasan kemiskinan juga didukung oleh lembaga-lembaga lain. Jika bisa, ada instansi, baik dari pemerintah ataupun swasta, yang khusus membahas tentang permasalahan kemiskinan dan solusinya.
Agar dapat mencapainya, upaya lain yang dilakukan untuk mendukung tercapainya pemberantasan kemiskinan ialah melalui partisipasi masyarakat. Pada dasarnya, upaya ini berupaya untuk memanfaatkan potensi dari masyarakat miskin yang dapat dikembangkan dalam kegiatan atau usaha tertentu yang dapat mengurangi dan bahkan melepaskan mereka dari jeratan permasalahan kemiskinan. Sebagaimana fungsinya, pemerintah bisa menjadi fasilitator bagi masyarakat dalam berpartisipasi dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraannya. Sebagai contoh, setiap masyarakat bisa diberi kemudahan untuk memperoleh modal, di genjot motivasi berwirausahanya, ditingkatkan kapasitas manajerialnya, didampingi aktivitasnya, serta dikontrol kinerjanya. Dan untuk melakukan cara ini, berbagai potensi didalam masyarakat, termasuk lembaga-lembaga kemasyarakatan, perlu dilibatkan. Sehingga, dapat terjalin sinkronisasi antara peranan pemerintah dan program-programnya dengan masyarakat miskin sebagai aktor utamanya.

2.    Pemberdayaan dan pengembangan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi untuk pengentasan kemiskinan sekarang sudah banyak diterima, bahkan telah berkembang berbagai pemikiran dan literatur tentang hal tersebut. Meskipun dalam kenyataannya strategi ini masih belum maksimal di aplikasikan. Di Indonesia, pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan dan memberdayakan masyarakat, salah satunya dengan program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri) dan masih banyak lainnya.
Pada kesempatan kali ini, yang menjadi fokus ialah bagaimana peranan pendidikan dalam pemberdayaan dan pengembangan masyarakat di Indonesia. Peranan bidang pendidikan merupakan salah satu upaya pembangunan dalam memberantas kebodohan, dan diharapkan mampu memberantas kemiskinan yang terjadi guna dapat meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakat. Pada dasarnya, pendidikan yang baik itu haruslah mampu menciptakan proses belajar mengajar yang efektif dan bermanfaat, serta menjadikan masyarakat menjadi lebih terbuka terhadap pendidikan.  Sehingga nantinya dapat membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Implikasi lainnya ialah diharapkan masyarakat miskin mendapatkan motivasi yang tinggi untuk belajar dan bekerja keras agar dapat menjadi masyarakat yang berpengetahuan dan kompeten, yang nantinya akan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan begitu, hal tersebut juga akan berdampak pada pengentasan kemiskinan. Selain itu, pendidikan juga dapat berfungsi sebagai sarana pemberdayaan individu dan masyarakat, khususnya guna menghadapi masa depan.
Meski demikian, ada hal penting lain yang harus disisipkan didalam program pendidikan, yaitu dengan menanamkan mental dan membelajarkan jiwa kewirausahawan kepada generasi Indonesia saat ini. Manfaatnya ialah agar generasi Indonesia tidak hanya memiliki pikiran untuk bekerja saja, tetapi juga untuk membuat pekerjaan, sehingga dapat membantu pemerintah dalam mengentaskan pengangguran dan kemiskinan. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama antara para pihak yang terkait didalam pemerataan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia, dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan meningkatkaan kesejahteraan yang berkelanjutan.

3.    Kesadaran masyarakat akan manfaat teknologi
Saat ini, apresiasi masyarakat umum akan potensi TIK sebagai alat bantu untuk mengurangi kemiskinan masih sangat rendah. Kesadaran akan potensi TIK untuk penanggulangan kemiskinan harus ditingkatkan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (terutama stakeholders). Masing-masing stakeholders melaksanakan peran yang dapat dilakukannya. Lebih jauh, pendekatan ini diharapkan dapat menggugah kaum miskin itu sendiri agar mereka sadar akan eksistensi dan dapat merasakan manfaat atau keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan TIK. Karena itu, membangun kesadaran dan meningkatkan partisipasi masyarakat akan manfaat TIK perlu dilakukan secara kolektif, simultan dan terus-menerus di setiap lapisan masyarakat. Peningkatan kesadaran ini dilakukan melalui penyelenggaraan aktivitas seperti seminar, media massa, focus group discussion, dan lain-lain. Di tingkat masyarakat, peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan melalui pertemuan dengan masyarakat desa yang dilakukan sejak awal. Selain itu, pemerintah juga dapat bekerja sama dengan pihak swasta dan perguruan tinggi terkait, guna menyelenggarakan seminar-seminar yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk berbagai bidang, seperti pendidikan, pertanian, perindustrian dan perdagangan.
Dalam konteks pengentasan kemiskinan, mengembangkan SDM merupakan program utama pembangunan. Dipercaya bahwa rendahnya inisiatif masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri adalah salah satu faktor penghambat pembangunan. Rendahnya inisiatif ini terjadi antara lain karena masyarakat tidak berdaya. Masyarakat akan lebih berdaya apabila mereka berhasil mengembangkan kemampuannya. TIK dapat memberikan sumbangan untuk mempercepat proses pengembangan kemampuan tersebut, baik itu proses pembelajaran formal maupun pelatihan. Dalam proses pembelajaran, teknologi informasi dapat berperan dalam proses pembelajaran jarak jauh. Proses pembelajaran jarak jauh juga dapat dimanfaatkan untuk proses pelatihan bagi berbagai kelompok masyarakat, misalnya usaha kecil dan menengah.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa teknologi juga memiliki peranan penting dalam mengentaskan kemiskinan, terutama di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah bisa menggunakan teknologi sebagai strategi dan teknik untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang ada. Sehingga, tidak hanya kemiskinan yang dapat teratasi, tetapi juga dapat membantu peningkatan kualitas SDM yang ada di Indonesia, yang mana implikasi akhirnya dalam membantu proses pembangunan di Indonesia. 

2.1.6 Kebijkasanaan Dasar Pengentasan Kemiskinan
Kebijaksaaan penanggulangan kemiskianan dapat di kategorikan menjadi dua yaitu kebijaksanaan:

1.    Kebijaksanaan tidak langsung
Kebijaksanaan tidak lansung diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan. Kondisi yang dimaksudkan anatara lain adalah suasana social politik yang tentera,ekonomi yang stabil dan budaya yang berkembang. Upaya penggolongan ekonomi makro yang yang berhati-hati melalui kebijaksanaan keuangan dan perpajakan merupakan bagian dari upaya menaggulangi kemiskinan. Pengendalain tingkat inflasi diarahkan pada penciptaan situsasi yang kondusif bagi upaya penyediaan kebutuhan daasar seperti sandang,pangan,papan,pendidikan,dan kesehatan dengan harga yang terjangkau oleh penduduk miskin.

2.    Kebijaksanaan langsung
Kebijaksaan langsung diarahkan kepada peningkatan peran serta dan peroduktifitas sumber daya manusi,khususnya golongan masyarakat berpendapatan rendah,melalui penyediaan kebutuhan dasar seperti sandang pangan papan kesehatan dan pendidikan,serta pengembangan kegiatan-kegiatan social ekonomi yang bekelanjutan untuk mendorong kemandirian golangan masyarakat yang berpendapatan rendah. Pemenuhan kebutuhan dasar akan memberiakn peluang bagi penduduk miskin untuk melakukan kegiatan social – ekonomi yang dapat memberikan pendapatan yang memadai. Dalam hubungan ini,, pengembangan kegiatan social ekonomi rkyat diprioritaskan pada pengembangan kegiatan social ekonomi penduduk miskin di desa-desa miskin berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan permodalan yang didukung sepenuhnya dengan kegiatan pelatih yang terintegrasi sejak kegiatan penghimpunan modal,penguasaan teknik produksi,pemasaran hasil dan pengelolaan surplus usaha.

2.2      Pembahasan
2.2.1   Gambaran Kondisi Wilayah Dki Jakarta
DKI Jakarta merupakan Ibukota Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk pada tahun 2008 sebesar 9.15 juta jiwa sehingga Jakarta merupakan salah satu kota terpadat di wilayah Negara Indonesia
Dengan jumlah penduduk yang banyak maka DKI Jakarta mempunyai banyak masalah kependudukan yang salah satunya adalah masalah kemiskinan yang kurun tahun jumlahnya selalu meningkat.
Dan salah satu penyebab kemiskinan adalah kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia di wilayah DKI Jakarta menurut data BPS Pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja sebesar 4,77 juta orang dan bukan angkatan kerja 2,18 juta orang tetapi jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah angkatan kerja yang ada.

2.2.2 Kondisi Kemiskinan di Wilayah DKI Jakarta
Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2009 sebesar 323,17 ribu orang (3,62 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2008 sebesar 379.6 ribu orang (4,29 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 57,45 ribu (0,67 persen). Keadaan ini dapat terjadi karena salah satu penyebabnya adalah adanya deflasi pada bulan januari sampai maret sebesar 0,13%

2.2.3   Contoh Kasus Kemiskinan Saat ini di Wilayah DKI Jakarta
Harus diakui, Jakarta mempunyai berbagai program pemberantasan kemiskinan. Akan tetapi, program itu hanya menjangkau warga miskin ber-KTP DKI. Padahal,banyak warga miskin pendatang dari daerah-daerah di Jawa, bahkan juga luar Jawa, yang tidak tercatat sebagai penduduk DKI.
Bagi Yunaedi (37), mengingat bawang berarti mengingat masa-masa hidup bersama keluarganya yang selalu diwarnai tangisan. Air mata yang merembes bukan karena percikan air bawang yang memang bisa membikin mata pedas.
Namun, bawang jugalah yang mengiris hatinya. Akhirnya, petani bawang asal Brebes, Jawa Tengah, itu pun pergi ke Jakarta.
Yunaedi hanyalah petani tanpa lahan. Dia menggarap lahan milik orang lain,yang disewanya setiap tahun. Namun, biaya produksi bawang kerap taksebanding dengan harga jual hasil garapannya. "Kalau sudah rugi begitu,keluarga habis-habisan, pada nangis semua di rumah. Bawang itu begitu.Benar-benar bisa bikin nangis betulan," tutur Yunaedi mengenang.
Tahun 1999 Yunaedi ke Jakarta dan berjualan nasi goreng. Bersama Sarmah (31) dan dua anaknya, Yunaedi mengontrak rumah petak dari tripleks di atas Kali Mampang, Jakarta Selatan. Di sanalah mereka tinggal bersama ratusan jiwa kaum urban miskin lainnya. Gubuk-gubuk kumuh mereka terjepit di antara permukiman mewah.
Yunaedi hanyalah salah satu potret ketidakberdayaan kaum miskin di Jakarta. Mereka terus-menerus terpinggirkan secara sistemik. Karena statuskependudukannya ilegal, Yunaedi pun tak berdaya ketika gagal mengurus kartukeluarga miskin.
Potret kemiskinan di kota memang tak bisa dipandang sederhana sebagaimasalah perkotaan semata. Kemiskinan pun tak sedatar data statistik, yang Mudah dimanipulasi. Bagaimana sebenarnya benang kusut kemiskinan di kota ini berawal?
Dian Tri Irawaty dari Divisi Riset dan Pengembangan Konsorsium Kemiskinan Kota (Urban Poor Consortium/UPC) mencermati, ketidakberdayaan kaum miskin di kota sudah dimulai sejak hak petani atas tanah di desanya tercerabut. Mereka Yang sejatinya petani justru tak sanggup mempunyai lahan sendiri.
Petani seolah dimiskinkan. Salah satu awal mula penyebab kemiskinan di kota adalah ketika sektor pertanian dikebiri secara sistemik. "Potret kemiskinan di kota hanya salah satu manifestasi dampak dari pengebirian itu," papar Dian.
Tercerabutnya tanah dari kehidupan petani diperparah dengan mandeknya pelaksanaan reformasi agraria (land reform) yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Baru belakangan ini Badan Pertanahan Nasional berusaha merealisasikan amanat yang telah mati suri puluhan tahun.
Undang-undang itu mengamanatkan pemerintah untuk meredistribusi tanah Negara kepada para petani penggarap dan petani tak bertanah. Kepemilikan dan penguasaan tanah pun dibatasi. Semangat perundang-undangan itu tak lain untuk menciptakan pemerataan dalam kesempatan kegiatan produktif di bidangpertanian.
Namun, Onghokham Institute mencatat, perundang-undangan itu justru mandek sejak memasuki tahun 1970. Sebaliknya, kemudahan dalam penyediaan tanah untuk kegiatan investasi dan eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar terbuka luas. Akibatnya, kepemilikan lahan oleh petani terus menyempit. Konversi lahan pertanian terus saja terjadi.
Kedaulatan petani pun terkebiri dengan diadopsinya gagasan Revolusi Hijau. Akibatnya, petani terus bergantung pada pupuk kimia, pestisida, dan benih. Ini tentu saja makin menggemukkan pundi-pundi perusahaan multinasional di sektor pertanian. Sementara, indeks nilai tukar petani selalu rendah, jika tidak selalu merosot.
"Tak salah bukan kalau lantas mereka berbondong-bondong ke Jakarta mencari hidup? Mereka tak lagi punya tanah, tak ada sumber penghidupan yang memadai," ujar Dian.
Di Jakarta, ketiadaan hak atas tanah di desa mereka berlanjut dengan tiadanya hak mereka atas tempat tinggal di Ibu Kota. Mereka pun menempati lahan-lahan ilegal; bantaran kali, kolong jembatan, kolong jalan tol, hingga tepi rel kereta. Mereka pun mencari nafkah di kawasan terlarang, bahu jalan, trotoar, juga kawasan parkir. Sebagai warga ilegal, bayang-bayang kehilangan sumber penghidupan serta tempat bernaung terus mengancam.
Sama halnya dengan Yunaedi, sebagian besar dari mereka terpaksa menghuni lahan-lahan yang semestinya bukan untuk permukiman. Bantaran sungai, pinggir rel, kolong jembatan, atau tanah-tanah kosong yang belum dibangun oleh pemiliknya adalah pilihan paling mudah.
Kepala Dinas Kependudukan DKI Jakarta Abdul Kadir menyebut ada puluhan titik komunitas warga yang menempati daerah terlarang, di antaranya 32 lokasi di Jakarta Utara. Antara lain di Rawa Bebek, persisnya di kolong jalan tol layang Pluit, Teluk Gong, Kampung Bandan, Marunda, Tanah Merah, dan jalur hijau di bantaran Cakung Drain.
Jumlah mereka bisa ratusan ribu jiwa. Sebab, di Tanah Merah saja ada 750 keluarga, sementara di Cakung Drain sekitar 300 keluarga.Digusur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatasi kemiskinan di kota dengan pendekatan represif. Penertiban. Permukiman kaum miskin yang kumuh dianggap penyakit dan merusak gemerlapnya kota. Melalui Peraturan Daerah Nomor 11
Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, kaum miskin kerap diusir. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum semakin melegalkan penggusuran paksa.
Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE), sebuah organisasi dunia diSwiss yang mengampanyekan hak atas tempat tinggal, menyebut penggusuranpaksa di Indonesia, khususnya Jakarta, telah mencapai level cukup gawat.
COHRE menempatkan Indonesia sebagai satu dari tujuh negara yang melakukan penggusuran paling besar di dunia. Sedangkan UPC mencatat, sejak tahun 2000 hingga 2005 saja sebanyak 19.094 keluarga digusur.
"Percuma pemerintah gusur-gusur kami. Mereka kasih uang kerohiman, padahal buat kami itu uang kezaliman. Kami diusir dari satu tempat, pindah ke tempat lain yang tetap ilegal," ujar Nenek Dela, pemulung di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara.
Bagi kaum miskin kota ilegal itu, untuk sekadar memiliki hak atas rasa aman di tempat tinggal saja tak terpenuhi. Mereka pun kesulitan mengakses bantuan
pemerintah. Tempat tinggal yang ilegal membuat mereka pun tak bisa membuat kartu tanda penduduk. Tertutupnya bermacam akses bagi mereka pada akhirnya membuat anak-anak mereka pun merana. "Kenapa cuma orang berduit yang boleh datang ke Jakarta. Yang miskin dikejar-kejar tramtib," kata Nenek Dela.
Dian mengemukakan, alangkah tidak adilnya ketika berbagai pembangunan sejumlah gedung yang terbengkalai tidak berlanjut, dibiarkan begitu saja.
Gedung-gedung menganggur itu malah kerap dijadikan tempat pesta disko (rave party) kaum muda Jakarta. Mal pun terus dibangun meski banyak yang sepi pengunjung. Sementara, banyak warga miskin yang membutuhkan sekadar sepetak tempat tinggal layak hanya bisa gigit jari.
Menurut Dian, masalah kemiskinan di perkotaan memang harus diatasi sejak dari akar masalahnya. Penuntasan masalah itu harus menjadi tanggung jawabpemerintah pusat yang menerjemahkannya dalam kebijakan nasional yangprorakyat miskin. Pemerintah provinsi pun sepatutnya menyikapi persoalan domestik kotanya lebih bijak, bukan justru menyalahkan si miskin atau si
marjinal, yang nekat ke kota.
"Paradigma memandang kemiskinan harus diubah. Bukan salah mereka kalau nekat ke Jakarta," kata Dian.
Ya, memang bukan maunya si miskin menceburkan diri di Jakarta, lantas tersesak di antara lautan mal, apartemen, dan berbagai titisan globalisasi.
Rumahku adalah istanaku. Kiranya itu sebutan yang terlontar dari bibir Fatimah. Istana dimaksud adalah sebuah ruangan berukuran 2 x 3 meter, beralas tanah dan berdinding kayu. Kontrasnya rumah itu menghadap ke sungai Ciliwung yang airnya mengalir deras hampir mencapai bibir sungai.
Walau memiliki konstruksi bangunan yang cukup kuat, karena disangga dengan empat batang kayu, namun di musim hujan kali ini perasaan was was mengintai mereka. "Waktu banjir datang, rumah ini tidak ada lagi ketutup air," kata Fatimah.
Rumah yang ditinggalinya itu adalah warisan peninggalan suami yang semasa hidup bekerja sebagai petugas kebersihan sebuah sekolah di Otista, Jakata Timur. Untuk menggantikan sang suami menghidupi ke 3 anaknya, yang masih dibawah 3 tahun Fatimah kini bekerja membantu tetangganya mencuci baju dengan penghasilan Rp 15.000 per hari.
Pernah dia membuat usaha berjualan kue ke pasar, namun lantaran tidak ada yang menjaga ke 3 anaknya, Fatimah kembali menekuni pekerjaan lamanya. Pengalaman sulit juga dialaminya saat dia harus kehilangan anak ke duanya yang terserang muntahber. Untuk biaya perawatan di rumah sakit Fatimah sempat mendapat pinjaman dari para tetangga.
Kemiskinan mewajah pada ratusan keluarga yang bermukim di bantaran kali di daerah Bukit Duri, Bidara cina, Kampung Melayu hingga Manggarai, meski dalam banyak hal pengalaman perempuan seperti Fatimah memperlihatkan wajah kemiskinan yang lebih luas. Menurut survei Sanggar Akar, lebih dari 65 persen penduduk di wilayah itu memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Jakarta, 32,97 persen sisanya belum memiliki KTP karena faktor usia.
Para ahli mendefinisikan kemiskinan sebagai ketiadaan akses pada hal-hal yang vital dalam hidup. Kemiskinan absolut berarti tak punya akses kepada sumber daya dasar yang menopang kehidupan, seperti air bersih, tanah, rumah yang layak, benih (bagi petani), makanan bergizi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lingkungan yang sehat. Dengan demikian, kemiskinan absolut tak bisa direduksi dengan penghitungan pendapatan yang dibuat lembaga-lembaga internasional, yakni dua dollar sehari, atau asupan kalori saja. Angka-angka itu menegaskan inflasi dan kenaikan harga yang meroket, sementara pendapatan tidak bergerak.
Tidak ada data yang akurat tentang besaran pendapatan warga Jakarta. Paul McCarthy dari Bank Dunia dalam Global Report (2003), mengutip sebuah lembaga survei di enam kota besar di Indonesia, menulis, 22 persen penduduk kota hidup dengan biaya kurang dari Rp 350.000 per bulan pada tahun 2001. Sekitar 20 persennya hidup dengan sekitar Rp 350.000 sampai Rp 500.000.
Akan tetapi, mengatakan mereka yang hidup dengan pendapatan di bawah Rp 500.000 per bulan sebagai "miskin" juga terlalu menyederhanakan persoalan karena tidak menghitung biaya perumahan dan jumlah keluarga.
Kendati begitu, tingkat kemiskinan meningkat dalam konsep kerentanan terhadap kemiskinan sebagai dampak krisis ekonomi. Bank Dunia mencatat, sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia tergolong rentan terhadap kemiskinan.
Di kota, tingkat kerentanan itu diperkirakan sekitar 29 persen, jauh lebih rendah dari kawasan pedesaan yang 59 persen. Data ini menjelaskan mengapa semakin banyak orang pergi ke kota besar untuk mengais rezeki yang semakin sulit di desa dan di kota-kota kecil.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi terkaya di Indonesia dan berada di peringkat tertinggi Indeks Pembangunan Manusia dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004. Meski UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah diterapkan, berbagai data memperlihatkan masih 65 persen peredaran uang di Indonesia menumpuk di Jakarta.
Bisa dipahami kalau kota ini menjadi semacam tempat "pengungsian" dari kehidupan yang menekan di tempat lain. Gemerlap Jakarta menjadi seperti lampu neon yang menarik laron. Laju pertumbuhan penduduknya jauh lebih tinggi dibandingkan data resmi, menjadikan megacity terbesar di Asia Tenggara ini penuh paradoks mulai tahun 1970-1980, ketika proses industrialisasi masif dimulai.
Mereka yang tergolong kaya bisa membayar makanan sepiring seharga ratusan ribu rupiah, sementara ribuan orang lainnya memeras keringat untuk Rp 10.000 sehari. Yang satu menguruskan badan dengan biaya jutaan rupiah, sementara ribuan anak tak bisa makan tiga kali sehari.
"Itu yang kini tergambar di wijah Jakarta" kata Kasubdit Studies Harga Konsumen Badan Pusat Statistik Sasmita. Pada awal tahun masyarakat sudah dihantui dengan kenaikan harga BBM akibat naiknnya harga minyak dunia. Walau bukan karena tekanan, hanya minyak goreng dan minyak tanah pun kini juga melonjak.
Dengan kondisi ekonomi yang dialami Fatimah dan ketiga anaknya, melonjaknya harga-harga kebutuhan itu merupakan pukulan telak yang tidak bisa dihindari. Kesulitan yang akan dialami oleh kaum miskin akan semakin besar. "Jakarta memang barometer perekonomian Indonsia, enam puluh persen perputaran uang ada di sini, tapi bagi siapa" ujarnya.
Kaum miskin seperti halnya Fatimah adalah sasaran mudah bagi aksi penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI memoles apa yang disebut sebagai "borok", yakni daerah-daerah kumuh di kota dan meminta pihak swasta "memodernisasi" kawasan itu dengan bangunan-bangunan modern pusat konsumsi. Tanah Jakarta seperti tak bisa bernapas, bahkan sungai pun mengecil, dipenuhi bangunan tinggi, membuat banjir tak terkendali dan wabah penyakit infeksi meluas.
Daerah bantaran sungai seperti tempat tinggal Fatimah merupakan wilayah yang rawan digusur. Padahal, berdasar data yang dimiliki oleh ketua RT 06 Jafar, ia sudah mendiami wilayah itu sejak 20 tahun lalu. "Pertama ditinggali oleh lakinya" tuturnya.
Kenyataan ini seperti ironi jika dihadapkan pada pernyataan pejabat tentang komitmen memberantas kemiskinan. Sebaliknya, mereka terus menciptakan kambing hitam dan stigma, membuat bukan kemiskinan yang harus dihadapi, tetapi orang miskin.
Kriminalitas senantiasa dikaitkan dengan kelompok ini. Padahal, isunya adalah lapangan kerja bagi kelompok urban tanpa keterampilan, di samping semakin terpinggirnya penduduk asli.
Riset lembaga swadaya masyarakat menyebutkan sekitar 2,8 juta penduduk Jakarta bermukim di 490 wilayah yang dikategorikan sebagai "kantong kemiskinan". Data penduduk bervariasi, antara 7,8 juta sampai 12,5 juta, tergantung metodologi yang digunakan


BAB III
penutup

3.1    Kesimpulan
Dari makalah yang penulis buat yaitu dari berbagai sumber yang diperoleh maka diperoleh kesiompulan bahwa DKI Jakarta sampai saat ini belum dapat mengatasi masalh kemiskinan, Kesimpulan ini diperoleh karena masih besarnya prosentaase kemiskinan yang ada pada wilayah DKI Jakarta yaitu sebesar 3,62% dari penduduk yang berjumlah 9.15 juta jiwa
Pemerintah DKI Jakarta juga telah banyak melakukan cara-cara pengentasan kemiskinan tetapi kemiskinan juga belum bisa diatasi dengan baik,hal ini dapat dilihat dari contoh kasus kemiskinan yang terjadi di wilayah DKI Jakarta.

3.2    Saran
Dengan masih besarnya tingkat kemiskinan di wilah DKI Jakarta maka pemerintah harus lebih tanggap dalam mengatasi maslah ini. Karena seperti yang kita tau kemiskinan merupakan slah satu kpenyebab ketidak makmuran masyarakat Indonesia.
Dengan demikian kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta,harus berihak padakaum miskin agar mereka tidak semakin tertindas dengan masalah kemiskinan yang mereka hadapi
Selain itu harusnya pemerintah DKI Jakarta dapat memperbanyak sector-sektor usaha angka pengangguran dapat ditekan karena seperti yanmg kita ketahui pengangguran merupakan salah satu penyebab kemiskinan.

   
DAFTAR PUSTAKA

Andre G.F.1967. Capitalism and the Underdevelopment in Latin America. Jakarta : Gramedia

BAPPENAS. 2001. Publikasi Susenas Mini. Jakarta  : BPP

Farhan, Yuna. 2006 Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan, Edisi Ketiga, Yogyakarta : UPP AMP YKPN.

Hartomo dan Aziz dalam Dadan Hudyana.2009. Kemiskinan di Ibukota. Jakarta : Pustaka Media.

Kartasasmita dalam Rahmawati.2006. Kondisi Kemiskinan Ibukota dari Masa ke Masa. Jakarta : Media Pressindo

Lewis, Oscar. 1966. dalam Sastrapratedja, M dkk. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Nasikun dalam Suryawati. 2005. Kemiskinan di Indonesia. Yogyakarta : Gramedika Insani.

Shanon, dkk. 2006. Pembangunan Ekonomi, Edisi 8. Jakarta : Erlangga.

No comments:

Post a Comment