MAKALAH
KEMISKINAN
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata pelajaran IPS
Disusun
Oleh :
..................................................
SEKOLAH
..............................
Tahun
.............................
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
kami panjatkan kekhadirat Allah SWT, Tuhan yang telah memberikan beragam
nikmat-Nya kepada kita semua sehingga Alhamdulillah kami diberikan kelancaran
dalam membuat makalah yang berjudul “Kemiskinan”. Salawat dan salam semoga
selamanya tercurah dan terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para
sahabatnya serta seluruh umatnya termasuk kita yang akan melanjutkan perjuangan
dakwahnya semoga kita akan mendapatkan safa’atnya nanti diakhirat, amin.
Saya mengucapkan terima
kasih yang sebesar – besarnya kepada seluruh pihak yang telah mendukung
terselesaikanya makalah ini.
Saya menyadari bahwa
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena saya pun masih dalam tahap
belajar. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Semoga Makalah ini
memberikan manfaat yang besar bagi kita semua. Amin.
PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Study
mengenai jumlah kemiskinan di Indonesia telah berusaha di ungkap oleh BPS sejak
tahun 1984. Penelitian BPS tentang kemiskian absolute menyatakan bahwa dewasa
ini penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan dengan menggunakan criteria
pengeluaran per kapita perbulan.
Sedangkan
menurut data dari BPS Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret
2009 sebesar 323,17 ribu orang (3,62 persen). Dibandingkan dengan penduduk
miskin pada Maret 2008 sebesar 379.6 ribu orang (4,29 persen), berarti jumlah
penduduk miskin turun sebesar 57,45 ribu (0,67 persen).
Dari
data tersebut dapat diketahui bahwa laju penurunan jumlah pendusuk miskin
begitu cepat di pedesaan di banding di perkotaan di sebabkan oleh adanya arus
urbanisasi dari desa ke kota. Kendatipun harus diakui bahwa secara agregat
penurunan jumlah penduduk miskin tersebut sebagai dampak langsung maupun tidak
langsug dari berbagai kebijaksanaan penmbangunan yang telah dilaksanakan selama
ini.
1.2 Rumusan
Masalah
Dalam
makalah ini akan dijelaskan secara lebih spesifik mengenai masalah-masalah
kemiskinan di daerah DKI Jakarta dan bagaimana cara mengatasi atau menaggulangi
masalah kemiskinan diantaranya kebijakan untuk masalah kemiskinan, dan
bagaimana kemiskinan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN
2.1 Kajian
Teori
2.1.1
Definisi Kemiskinan
Menurut
Yuna Farhan, 2006 (sebagaimana dikutip Zada, Kompas, 13 November 2007),
kemiskinan adalah :
“Persoalan
yang sangat kompleks, tidak semata-mata berhubungan dengan rendahnya pendapatan
dan tingkat konsumsi masyarakat, namun berkaitan dengan rendahnya tingkat
pendidikan, akses kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam dalam
proses pengambilan keputusan publik, ketidakmampuan menyampaikan aspirasi,
serta berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan manusia.”
Senada
dengan pandangan Farhan, Gregorius Sahdan (Jurnal Ekonomi Rakyat, Maret 2005) menyebut kemiskinan sebagai konsep yang
sangat beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi
dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian
lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ia menyitir pendapat yang
mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan
dalam suatu masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa kemiskinan merupakan
ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu
pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan
tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang
berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan
pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu
memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini
yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Definisi kemiskinan konsumsi
sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi
definisi ini sangat kurang memadai dalam menjelaskan kemiskinan karena; (1)
tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke
kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan
menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil
keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa
kontraproduktif.
Dalam
pandangan modern, kemiskinan dalam berbagai bidang sebagaimana disebut sebagai
kemiskinan plural karena ditanggung secara bersama-sama dalam satu komunitas.
Sekurang-kurangnya ada 6 macam kemiskinan yang ditanggung komunitas, yaitu: 1).
Kemiskinan sub-sistensi, yaitu penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan
buruk, fasilitas air bersih mahal; 2). Kemiskinan perlindungan, yakni
lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja
buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah; 3). Kemiskinan pemahaman:
kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang
menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi untuk
mengupayakan perubahan; 4). Kemiskinan partisipasi, yang berarti tidak ada
akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri
dan komunitas; 5). Kemiskinan identitas, yaitu terbatasnya perbauran antar
kelompok sosial, terfragmentasi; 6).
Kemiskinan kebebasan, yang ditandai dengan tingginya stres, rasa tidak berdaya,
tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.
Dalam
kaitan pendefinisian kemiskinan yang kompleks ini, BAPPENAS (2001)
mendefinisikan kemiskinan secara lebih komprehensif, dengan melihat kemiskinan
sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang
tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat tersebut antara lain,
terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air
bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari
perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak
dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama
antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic
needs approach), pendekatan pendapatan (income
approach), pendekatan kemampuan dasar (human
capability approach) dan pendekatan objective
and subjective.
2.1.2 Teori Kemiskinan
Seperti
diketahui, terdapat banyak teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan.
Teori-teori tersebut antara lain:
1. Teori
Neo-Liberal.
Shanon,
Spicker, Cheyne, O’Brien dan Belgrave (2006) berargumen bahwa kemiskinan
merupakan :
“Persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan dan pilihan
individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang sendirinya jika kekuatan
pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu
setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penanggulangan kemiskinan harus
bersifat residual sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok swadaya
atau lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai penjaga yang baru boleh
ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan
tugasnya.”
2. Teori
Sosial Demokrat
Teori
ini memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individu, melainkan
struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan
dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses kelompok kepada sumber
kemasyarakatan. Teori sosial demokrat menekankan pentingnya manajemen dan
pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar bagi seluruh warga negara
dan dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi manajemen permintaan gaya Keynesian.
Meskipun teori ini tidak setuju sepenuhnya terhadap pasar bebas, kaum sosial
demokrat tidak anti sistem ekonomi kapitalis. Bahkan kapitalis masih dipandang
sebagai bentuk organisasi ekonomi yang paling efektif. Hanya saja sosial
demokrat merasa perlu ada sistem negara yang mengupayakan kesejahteraan bagi
rakyatnya.
Pendukung
sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam
memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan
jika setiap orang memiliki sumber kesejahteraan. Kebebasan lebih dari sekedar
bebas dari pengaruh luar, melainkan bebas pula dalam menentukan pilihan.
3. Teori
Marjinal
Teori
ini berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi dikarenakan adanya
kebudayaan kemiskinan yang tersosialisasi di kalangan masyarakat tertentu.
Oscar
Lewis (1966) adalah tokoh dari aliran teori marjinal. Konsepnya yang terkenal
adalah Culture of Poverty. Lewis
mengatakan bahwa :
“Masyarakat
di dunia menjadi miskin karena adanya budaya kemiskinan dengan karakter apatis,
menyerah pada nasib, sistem keluarga yang tidak mantap, kurang pendidikan,
kurang ambisi membangun masa depan, kejahatan dan kekerasan banyak terjadi.”
Ada dua
pendekatan perencanaan yang bersumber dari pandangan teori marjinal:
a.
Prakarsa
harus datang dari luar komunitas;
b. Perencanaan
harus berfokus pada perubahan nilai, karena akar masalah ada pada nilai.
4. Teori
Development
Teori
Developmental (bercorak pembangunan) muncul dari teori-teori pembangunan
terutama neo-liberal. Teori ini mencari akar masalah kemiskinan pada persoalan
ekonomi dan masyarakat sebagai satu kesatuan.
Ada
tiga asumsi dasar dari teori ini:
a. Negara
menjadi miskin karena ketiadaan atribut industrialisasi, modal, kemampuan
manajerial, dan prasarana yang diperlukan untuk peningkatan ekonomi.
b. Pertumbuhan
ekonomi adalah kriteria utama pembangunan yang dianggap dapat mengatasi
masalah-masalah ketimpangan.
c. Kemiskinan
akan hilang dengan sendirinya bila pasar diperluas sebesar-besarnya dan
pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya.
Ketiga
asumsi tersebut memperlihatkan bahwa kemiskinan yang terjadi bukanlah persoalan
budaya, sebagaimana anggapan teori marjinal melainkan adalah persoalan ekonomi dan
pembangunan.
5. Teori
Struktural
Teori
ini didasari oleh pemikiran yang berasal dari teori ketergantungan yang
diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank (1967), Capitalism and the Underdevelopment in Latin America, dan juga oleh
Teothonio Dos Santos dan Samir. Andre Gunder Frank mengatakan bahwa :
“Teori
struktural berasumsi bahwa kemiskinan terjadi bukan karena persoalan budaya dan
pembangunan ekonomi, melainkan politik-ekonomi Dunia.”
Teori
ketergantungan mengajukan tiga asumsi utama:
a.
Dunia
didominasi oleh suatu perekonomian tunggal sedemikian rupa sehingga semua
negara di dunia diintegrasikan ke dalam lingkungan produksi kapitalisme yang
menyebabkan keterbelakangan di negara miskin.
b.
Negara-negara
inti menarik surplus dari negara miskin melalui suatu matarantai
metropolis-satelit.
c.
Sebagai
akibatnya negara miskin menjadi semakin miskin dan negara kaya semakin kaya.
Dengan
berdasar pada asumsi teori ketergantungan tersebut teori struktural mengajukan
asumsi bahwa kemiskinan di dunia harus dilihat pada suatu konstelasi ekonomi
internasional dan struktur politik global yang menerangkan bahwa ketergantungan
yang menjadi penyebab negara terbelakang dan masyarakatnya menjadi miskin.
6. Teori
Artikulasi Moda Produksi
Teori
ini adalah salah satu teori yang dikembangkan oleh Pierre Phillipe Rey,
Meillassoux, Terry, dan Taylor, dari pemikiran karya Karl Marx dan Frederic
Engels mengenai Moda Produksi (Mode of
Production). Teori ini berasumsi bahwa :
“Reproduksi
kapitalisme di negara-negara miskin terjadi dalam suatu simultanitas tunggal di
mana pada sisi negara miskin terjadi artikulasi dari sedikitnya dua moda
produksi (moda produksi kapitalis dan pra-kapitalis). Koeksistensi dari kedua
moda produksi tersebut menghasilkan eksploitasi tenaga kerja murah dan problem akses
bagi kelompok masyarakat miskin yang masih tetap berada dalam ranah moda
produksi pra-kapitalis.”
Strategi
penanganan kemiskinan yang ditawarkan oleh teori artikulasi moda produksi
dikenal dengan person in environtment dan
person in situation yang dianalogikan sebagai strategi ikan-kail memberikan
keterampilan memancing, menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan oleh
kelompok elit dalam masyarakat, dan mengupayakan perluasan akses pemasaran bagi
penjualan ikan.
Teori
artikulasi moda produksi melandasi dua macam pendekatan yaitu moderat
(pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial, program jaminan perlindungan
dan asuransi kesejahteraan sosial, program pemberdayaan masyarakat) dan radikal
(di dalam masyarakatlah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan yang menyebabkan
taraf hidup sebagian masyarakat tetap rendah sehingga kebijakan paling tepat
adalah reformasi dan transformasi).
2.1.3 Penyebab Kemiskinan
Setiap
permasalahan timbul pasti karena ada faktor yang mengiringinya yang menyebabkan
timbulnya sebuah permasalahan, begitu juga dengan masalah kemiskinan yang
dihadapi oleh negara indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
kemiskinan menurut Hartomo dan Aziz dalam Dadan Hudyana (2009:28-29) yaitu :
1. Pendidikan
yang Terlampau Rendah
Tingkat
pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan
tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan atau
keterampilan yang dimiliki seseorang menyebabkan keterbatasan kemampuan
seseorang untuk masuk dalam dunia kerja.
2. Malas Bekerja
Adanya
sikap malas (bersikap pasif atau bersandar pada nasib) menyebabkan seseorang
bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja.
3. Keterbatasan Sumber Alam
Suatu
masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan
keuntungan bagi kehidupan mereka. Hal ini sering dikatakan masyarakat itu
miskin karena sumberdaya alamnya miskin.
4. Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatasan
lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara
ideal seseorang harus mampu menciptakan lapangan kerja baru sedangkan secara
faktual hal tersebut sangat kecil kemungkinanya bagi masyarakat miskin karena
keterbatasan modal dan keterampilan.
5. Keterbatasan Modal
Seseorang
miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan
dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan
untuk memperoleh penghasilan.
6. Beban Keluarga
Seseorang
yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha
peningakatan pendapatan akan menimbulkan kemiskinan karena semakin banyak
anggota keluarga akan semakin meningkat tuntutan atau beban untuk hidup yang
harus dipenuhi.
Suryadiningrat
dalam Dadan Hudayana (2009:30), juga mengemukakan bahwa :
“ Kemiskinan
pada hakikatnya disebabkan oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan
nilai-nilai kebenaran ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini
mengakibatkan terjadinya penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan
terhadap orang lain. Penganiayaan manusia terhadap diri sendiri tercermin dari
adanya :
1) keengganan bekerja dan berusaha,
2) kebodohan,
3) motivasi rendah,
4) tidak memiliki rencana jangka
panjang,
5) budaya kemiskinan, dan
6) pemahaman keliru terhadap
kemiskinan.”
Sedangkan
penganiayaan terhadap orang lain terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja
dan berusaha akibat :
1. ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang
memerlukan atau orang tidak mampu dan
2.
kebijakan yang tidak memihak kepada orang miskin.
Kartasasmita
dalam Rahmawati (2006:4) mengemukakan bahwa, kondisi kemiskinan dapat
disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya yaitu :
1. Rendahnya Taraf Pendidikan
Taraf
pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan
meyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang
rendah juga membatasi kemampuan seseorang untuk mencari dan memanfaatkan
peluang.
2. Rendahnya Derajat Kesehatan
Taraf
kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya
pikir dan prakarsa.
3.
Terbatasnya Lapangan Kerja
Selain
kondisi kemiskinan dan kesehatan yang rendah, kemiskinan juga diperberat oleh
terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha,
selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan.
4. Kondisi Keterisolasian
Banyak
penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi.
Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh
pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat
lainnya.
Nasikun
dalam Suryawati (2005:5) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab
terjadinya kemiskinan, yaitu :
1. Pelestarian Proses Kemiskinan Proses
pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan
diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru
melestarikan.
2. Pola Produksi Kolonial
Negara
ekskoloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani
menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan
berorientasi ekspor.
3. Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Adanya
unsur manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian
yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
4. Kemiskinan Terjadi Karena Siklus Alam.
Misalnya
tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir
tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan
produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
5. Peminggiran Kaum Perempuan
Dalam
hal ini perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses
dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
6. Faktor Budaya dan Etnik
Bekerjanya
faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan seperti, pola hidup
konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang
konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
2.1.4 Dampak Dari Kemiskinan Terhadap Masyarakat
Banyak
dampak yang terjadi yang disebabkan oleh kemiskinan diantaran adalah sebagai
berikut:
1.
Kesejahteraan
masyarakat sangat jauh dari sangat rendah
Ini
berarrti dengan adanya tingkat kemiskian yang tinggi banyak masyarakat
Indonesia yang tidak memiliki pendapatan yang mencukupi kebutuhan hidup masyarakat.
2.
Tingkat
kematian meningkat, ini dimksudkan bahwa masy6arakat Indonesia banyak yang
menagalmi kemtain akibat kelaparan atau melakukan tindakan bunuh diri karena
tidak kuat dalam menjalani kemiskinan yang di alami.
3.
Banyak
penduduk Indonesia yang kelaparan karena tidak mampu untuk membeli kebutuha
akan makanan yang merka makan sehari-hari
4.
Tidak
bersekolah (tingkat pendidikan yang rendah) ini menyebnabkan masyarakat si
Indonesia tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk memperoleh pekerjaan dan tidak memiliki
keterampilan yang cukup untuk memperoleh pendapatan
5.
Tingakat
kejahatan meningkat , Masyarakat Indonesia jadi terdesak untuk memperoleh
pendapatan dengan cara-cara kejahatan karena dengan cara yang baik mereka tidak
mempunyai modal yaitu ilmu dan ketermpilan yang cukup.
2.1.5 Strategi
Pengentasan Kemiskinan
Di
Indonesia, sampai dengan tahun 2011, tingkat kemiskinan nasional telah dapat
diturunkan menjadi 12,49 persen dari 13,33 persen pada tahun 2011 (gambar 1).
Dengan
ditambah tumbuhnya perekonomian Indonesia pada tahun 2011 sebesar 6,5 persen
dibanding tahun 2010, seharusnya tingkat kemiskinan nasional dapat turun lebih
jauh lagi. Tetapi, apa yang terjadi ialah terlihat bahwa tingginya pertumbuhan
ekonomi suatu negara tidak menjamin tiadanya sejumlah kemiskinan, terutama
kemiskinan absolut. Ditambah dengan melebarnya jarak antara golongan kaya
dengan golongan miskin. Hal inilah yang sekarang terjadi di Indonesia pada saat
ini.
Lalu
pertanyaannya ialah apakah pemerintah Indonesia sudah melakukan cara untuk
mengentaskan kemiskinan secara maksimal? Jawabannya adalah sudah. Sejujurnya,
sudah banyak cara yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi
kemiskinan, seperti melakukan pengembangan tenaga kerja, mendorong program
pembangunan ekonomi, mendorong upah minimum, dan masih banyak lagi. Tetapi,
menurut pendapat saya, ada tiga cara yang bisa diambil oleh pemerintah dalam
menanggulangi kemiskinan secara efektif, diantaranya ialah :
1. Peranan
pemerintah dan partisipasi masyarakat
Sebetulnya,
pemerintah Indonesia telah membuat banyak program dan anggaran yang besar untuk
penganggulangan kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Tetapi, hal itu belum
saja cukup, sebab strategi yang ada tidak dijalankan secara maksimal, sebab
adanya miskoordinasi atau penyelewengan dana yang digunakan untuk mengatasi
permasalahan kemiskinan oleh pihak-pihak tertentu. Maka seharusnya pemerintah
memimpin langsung upaya pengentasan kemiskinan, dari mulai perencanaan,
distribusi, sampai bagaimana implementasinya di lapangan. Pemerintah juga harus
melakukan perluasan dan percepatan program pengentasan kemiskinan dan mengintensifkan program-program penanggulangan kemiskinan yang
belum dilaksanakan secara maksimal. Disamping itu, pemerintah pusat dan
daerah juga harus saling bekerjasama, agar jarak kemiskinan antara kota dan
desa dapat dipersempit. Alangkah baiknya lagi apabila program pengentasan
kemiskinan juga didukung oleh lembaga-lembaga lain. Jika bisa, ada instansi,
baik dari pemerintah ataupun swasta, yang khusus membahas tentang permasalahan
kemiskinan dan solusinya.
Agar
dapat mencapainya, upaya lain yang dilakukan untuk mendukung tercapainya
pemberantasan kemiskinan ialah melalui partisipasi masyarakat. Pada dasarnya,
upaya ini berupaya untuk memanfaatkan potensi dari masyarakat miskin yang dapat
dikembangkan dalam kegiatan atau usaha tertentu yang dapat mengurangi dan
bahkan melepaskan mereka dari jeratan permasalahan kemiskinan. Sebagaimana
fungsinya, pemerintah bisa menjadi fasilitator bagi masyarakat dalam berpartisipasi
dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraannya. Sebagai contoh,
setiap masyarakat bisa diberi kemudahan untuk memperoleh modal, di genjot
motivasi berwirausahanya, ditingkatkan kapasitas manajerialnya, didampingi
aktivitasnya, serta dikontrol kinerjanya. Dan untuk melakukan cara ini,
berbagai potensi didalam masyarakat, termasuk lembaga-lembaga kemasyarakatan,
perlu dilibatkan. Sehingga, dapat terjalin sinkronisasi antara peranan
pemerintah dan program-programnya dengan masyarakat miskin sebagai aktor
utamanya.
2. Pemberdayaan
dan pengembangan masyarakat
Pemberdayaan
masyarakat sebagai sebuah strategi untuk pengentasan kemiskinan sekarang sudah
banyak diterima, bahkan telah berkembang berbagai pemikiran dan literatur
tentang hal tersebut. Meskipun dalam kenyataannya strategi ini masih belum
maksimal di aplikasikan. Di Indonesia, pemerintah sebenarnya sudah melakukan
berbagai cara untuk meningkatkan dan memberdayakan masyarakat, salah satunya
dengan program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri) dan
masih banyak lainnya.
Pada
kesempatan kali ini, yang menjadi fokus ialah bagaimana peranan pendidikan
dalam pemberdayaan dan pengembangan masyarakat di Indonesia. Peranan bidang
pendidikan merupakan salah satu upaya pembangunan dalam memberantas kebodohan,
dan diharapkan mampu memberantas kemiskinan yang terjadi guna dapat
meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakat. Pada dasarnya,
pendidikan yang baik itu haruslah mampu menciptakan proses belajar mengajar
yang efektif dan bermanfaat, serta menjadikan masyarakat menjadi lebih terbuka
terhadap pendidikan. Sehingga nantinya
dapat membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan, keterbelakangan, dan
kebodohan. Implikasi lainnya ialah diharapkan masyarakat miskin mendapatkan
motivasi yang tinggi untuk belajar dan bekerja keras agar dapat menjadi
masyarakat yang berpengetahuan dan kompeten, yang nantinya akan dapat
meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan begitu, hal tersebut juga akan
berdampak pada pengentasan kemiskinan. Selain itu, pendidikan juga dapat
berfungsi sebagai sarana pemberdayaan individu dan masyarakat, khususnya guna
menghadapi masa depan.
Meski
demikian, ada hal penting lain yang harus disisipkan didalam program
pendidikan, yaitu dengan menanamkan mental dan membelajarkan jiwa
kewirausahawan kepada generasi Indonesia saat ini. Manfaatnya ialah agar
generasi Indonesia tidak hanya memiliki pikiran untuk bekerja saja, tetapi juga
untuk membuat pekerjaan, sehingga dapat membantu pemerintah dalam mengentaskan
pengangguran dan kemiskinan. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya diperlukan
kerjasama antara para pihak yang terkait didalam pemerataan pendidikan bagi
seluruh masyarakat Indonesia, dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan
meningkatkaan kesejahteraan yang berkelanjutan.
3. Kesadaran
masyarakat akan manfaat teknologi
Saat
ini, apresiasi masyarakat umum akan potensi TIK sebagai alat bantu untuk
mengurangi kemiskinan masih sangat rendah. Kesadaran akan potensi TIK untuk
penanggulangan kemiskinan harus ditingkatkan dengan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan (terutama stakeholders). Masing-masing stakeholders melaksanakan
peran yang dapat dilakukannya. Lebih jauh, pendekatan ini diharapkan dapat
menggugah kaum miskin itu sendiri agar mereka sadar akan eksistensi dan dapat
merasakan manfaat atau keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan TIK.
Karena itu, membangun kesadaran dan meningkatkan partisipasi masyarakat akan
manfaat TIK perlu dilakukan secara kolektif, simultan dan terus-menerus di
setiap lapisan masyarakat. Peningkatan kesadaran ini dilakukan melalui penyelenggaraan
aktivitas seperti seminar, media massa, focus group discussion, dan lain-lain.
Di tingkat masyarakat, peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan melalui
pertemuan dengan masyarakat desa yang dilakukan sejak awal. Selain itu,
pemerintah juga dapat bekerja sama dengan pihak swasta dan perguruan tinggi
terkait, guna menyelenggarakan seminar-seminar yang terkait dengan pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi untuk berbagai bidang, seperti pendidikan,
pertanian, perindustrian dan perdagangan.
Dalam
konteks pengentasan kemiskinan, mengembangkan SDM merupakan program utama
pembangunan. Dipercaya bahwa rendahnya inisiatif masyarakat dalam menanggulangi
kemiskinan dengan cara mereka sendiri adalah salah satu faktor penghambat
pembangunan. Rendahnya inisiatif ini terjadi antara lain karena masyarakat
tidak berdaya. Masyarakat akan lebih berdaya apabila mereka berhasil
mengembangkan kemampuannya. TIK dapat memberikan sumbangan untuk mempercepat
proses pengembangan kemampuan tersebut, baik itu proses pembelajaran formal
maupun pelatihan. Dalam proses pembelajaran, teknologi informasi dapat berperan
dalam proses pembelajaran jarak jauh. Proses pembelajaran jarak jauh juga dapat
dimanfaatkan untuk proses pelatihan bagi berbagai kelompok masyarakat, misalnya
usaha kecil dan menengah.
Dengan
demikian, terlihat jelas bahwa teknologi juga memiliki peranan penting dalam
mengentaskan kemiskinan, terutama di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah
bisa menggunakan teknologi sebagai strategi dan teknik untuk mengatasi
permasalahan kemiskinan yang ada. Sehingga, tidak hanya kemiskinan yang dapat
teratasi, tetapi juga dapat membantu peningkatan kualitas SDM yang ada di
Indonesia, yang mana implikasi akhirnya dalam membantu proses pembangunan di
Indonesia.
2.1.6 Kebijkasanaan
Dasar Pengentasan Kemiskinan
Kebijaksaaan
penanggulangan kemiskianan dapat di kategorikan menjadi dua yaitu
kebijaksanaan:
1. Kebijaksanaan tidak langsung
Kebijaksanaan
tidak lansung diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan
setiap upaya penanggulangan kemiskinan. Kondisi yang dimaksudkan anatara lain
adalah suasana social politik yang tentera,ekonomi yang stabil dan budaya yang
berkembang. Upaya penggolongan ekonomi makro yang yang berhati-hati melalui
kebijaksanaan keuangan dan perpajakan merupakan bagian dari upaya menaggulangi
kemiskinan. Pengendalain tingkat inflasi diarahkan pada penciptaan situsasi
yang kondusif bagi upaya penyediaan kebutuhan daasar seperti
sandang,pangan,papan,pendidikan,dan kesehatan dengan harga yang terjangkau oleh
penduduk miskin.
2. Kebijaksanaan langsung
Kebijaksaan
langsung diarahkan kepada peningkatan peran serta dan peroduktifitas sumber
daya manusi,khususnya golongan masyarakat berpendapatan rendah,melalui
penyediaan kebutuhan dasar seperti sandang pangan papan kesehatan dan
pendidikan,serta pengembangan kegiatan-kegiatan social ekonomi yang
bekelanjutan untuk mendorong kemandirian golangan masyarakat yang berpendapatan
rendah. Pemenuhan kebutuhan dasar akan memberiakn peluang bagi penduduk miskin
untuk melakukan kegiatan social – ekonomi yang dapat memberikan pendapatan yang
memadai. Dalam hubungan ini,, pengembangan kegiatan social ekonomi rkyat
diprioritaskan pada pengembangan kegiatan social ekonomi penduduk miskin di
desa-desa miskin berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
peningkatan permodalan yang didukung sepenuhnya dengan kegiatan pelatih yang
terintegrasi sejak kegiatan penghimpunan modal,penguasaan teknik
produksi,pemasaran hasil dan pengelolaan surplus usaha.
2.2 Pembahasan
2.2.1 Gambaran Kondisi Wilayah Dki Jakarta
DKI
Jakarta merupakan Ibukota Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk pada
tahun 2008 sebesar 9.15 juta jiwa sehingga Jakarta merupakan salah satu kota
terpadat di wilayah Negara Indonesia
Dengan
jumlah penduduk yang banyak maka DKI Jakarta mempunyai banyak masalah
kependudukan yang salah satunya adalah masalah kemiskinan yang kurun tahun
jumlahnya selalu meningkat.
Dan
salah satu penyebab kemiskinan adalah kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia
di wilayah DKI Jakarta menurut data BPS Pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja
sebesar 4,77 juta orang dan bukan angkatan kerja 2,18 juta orang tetapi jumlah
lapangan pekerjaan yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah angkatan kerja
yang ada.
2.2.2
Kondisi Kemiskinan di Wilayah DKI Jakarta
Jumlah
penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2009 sebesar 323,17 ribu orang
(3,62 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2008 sebesar
379.6 ribu orang (4,29 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar
57,45 ribu (0,67 persen). Keadaan ini dapat terjadi karena salah satu
penyebabnya adalah adanya deflasi pada bulan januari sampai maret sebesar 0,13%
2.2.3
Contoh Kasus Kemiskinan Saat ini di
Wilayah DKI Jakarta
Harus
diakui, Jakarta mempunyai berbagai program pemberantasan kemiskinan. Akan
tetapi, program itu hanya menjangkau warga miskin ber-KTP DKI. Padahal,banyak
warga miskin pendatang dari daerah-daerah di Jawa, bahkan juga luar Jawa, yang
tidak tercatat sebagai penduduk DKI.
Bagi
Yunaedi (37), mengingat bawang berarti mengingat masa-masa hidup bersama
keluarganya yang selalu diwarnai tangisan. Air mata yang merembes bukan karena
percikan air bawang yang memang bisa membikin mata pedas.
Namun,
bawang jugalah yang mengiris hatinya. Akhirnya, petani bawang asal Brebes, Jawa
Tengah, itu pun pergi ke Jakarta.
Yunaedi
hanyalah petani tanpa lahan. Dia menggarap lahan milik orang lain,yang
disewanya setiap tahun. Namun, biaya produksi bawang kerap taksebanding dengan
harga jual hasil garapannya. "Kalau sudah rugi begitu,keluarga
habis-habisan, pada nangis semua di rumah. Bawang itu begitu.Benar-benar bisa
bikin nangis betulan," tutur Yunaedi mengenang.
Tahun
1999 Yunaedi ke Jakarta dan berjualan nasi goreng. Bersama Sarmah (31) dan dua
anaknya, Yunaedi mengontrak rumah petak dari tripleks di atas Kali Mampang,
Jakarta Selatan. Di sanalah mereka tinggal bersama ratusan jiwa kaum urban
miskin lainnya. Gubuk-gubuk kumuh mereka terjepit di antara permukiman mewah.
Yunaedi
hanyalah salah satu potret ketidakberdayaan kaum miskin di Jakarta. Mereka
terus-menerus terpinggirkan secara sistemik. Karena statuskependudukannya
ilegal, Yunaedi pun tak berdaya ketika gagal mengurus kartukeluarga miskin.
Potret
kemiskinan di kota memang tak bisa dipandang sederhana sebagaimasalah perkotaan
semata. Kemiskinan pun tak sedatar data statistik, yang Mudah dimanipulasi.
Bagaimana sebenarnya benang kusut kemiskinan di kota ini berawal?
Dian
Tri Irawaty dari Divisi Riset dan Pengembangan Konsorsium Kemiskinan Kota
(Urban Poor Consortium/UPC) mencermati, ketidakberdayaan kaum miskin di kota
sudah dimulai sejak hak petani atas tanah di desanya tercerabut. Mereka Yang
sejatinya petani justru tak sanggup mempunyai lahan sendiri.
Petani
seolah dimiskinkan. Salah satu awal mula penyebab kemiskinan di kota adalah
ketika sektor pertanian dikebiri secara sistemik. "Potret kemiskinan di
kota hanya salah satu manifestasi dampak dari pengebirian itu," papar
Dian.
Tercerabutnya
tanah dari kehidupan petani diperparah dengan mandeknya pelaksanaan reformasi
agraria (land reform) yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960. Baru belakangan ini Badan Pertanahan Nasional berusaha
merealisasikan amanat yang telah mati suri puluhan tahun.
Undang-undang
itu mengamanatkan pemerintah untuk meredistribusi tanah Negara kepada para
petani penggarap dan petani tak bertanah. Kepemilikan dan penguasaan tanah pun
dibatasi. Semangat perundang-undangan itu tak lain untuk menciptakan pemerataan
dalam kesempatan kegiatan produktif di bidangpertanian.
Namun,
Onghokham Institute mencatat, perundang-undangan itu justru mandek sejak
memasuki tahun 1970. Sebaliknya, kemudahan dalam penyediaan tanah untuk
kegiatan investasi dan eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar terbuka
luas. Akibatnya, kepemilikan lahan oleh petani terus menyempit. Konversi lahan
pertanian terus saja terjadi.
Kedaulatan
petani pun terkebiri dengan diadopsinya gagasan Revolusi Hijau. Akibatnya,
petani terus bergantung pada pupuk kimia, pestisida, dan benih. Ini tentu saja
makin menggemukkan pundi-pundi perusahaan multinasional di sektor pertanian.
Sementara, indeks nilai tukar petani selalu rendah, jika tidak selalu merosot.
"Tak
salah bukan kalau lantas mereka berbondong-bondong ke Jakarta mencari hidup?
Mereka tak lagi punya tanah, tak ada sumber penghidupan yang memadai,"
ujar Dian.
Di
Jakarta, ketiadaan hak atas tanah di desa mereka berlanjut dengan tiadanya hak
mereka atas tempat tinggal di Ibu Kota. Mereka pun menempati lahan-lahan
ilegal; bantaran kali, kolong jembatan, kolong jalan tol, hingga tepi rel
kereta. Mereka pun mencari nafkah di kawasan terlarang, bahu jalan, trotoar,
juga kawasan parkir. Sebagai warga ilegal, bayang-bayang kehilangan sumber
penghidupan serta tempat bernaung terus mengancam.
Sama
halnya dengan Yunaedi, sebagian besar dari mereka terpaksa menghuni lahan-lahan
yang semestinya bukan untuk permukiman. Bantaran sungai, pinggir rel, kolong
jembatan, atau tanah-tanah kosong yang belum dibangun oleh pemiliknya adalah
pilihan paling mudah.
Kepala
Dinas Kependudukan DKI Jakarta Abdul Kadir menyebut ada puluhan titik komunitas
warga yang menempati daerah terlarang, di antaranya 32 lokasi di Jakarta Utara.
Antara lain di Rawa Bebek, persisnya di kolong jalan tol layang Pluit, Teluk
Gong, Kampung Bandan, Marunda, Tanah Merah, dan jalur hijau di bantaran Cakung
Drain.
Jumlah
mereka bisa ratusan ribu jiwa. Sebab, di Tanah Merah saja ada 750 keluarga,
sementara di Cakung Drain sekitar 300 keluarga.Digusur Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta mengatasi kemiskinan di kota dengan pendekatan represif. Penertiban.
Permukiman kaum miskin yang kumuh dianggap penyakit dan merusak gemerlapnya
kota. Melalui Peraturan Daerah Nomor 11
Tahun
1988 tentang Ketertiban Umum, kaum miskin kerap diusir. Terbitnya Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum semakin melegalkan penggusuran paksa.
Centre
on Housing Rights and Evictions (COHRE), sebuah organisasi dunia diSwiss yang
mengampanyekan hak atas tempat tinggal, menyebut penggusuranpaksa di Indonesia,
khususnya Jakarta, telah mencapai level cukup gawat.
COHRE
menempatkan Indonesia sebagai satu dari tujuh negara yang melakukan penggusuran
paling besar di dunia. Sedangkan UPC mencatat, sejak tahun 2000 hingga 2005
saja sebanyak 19.094 keluarga digusur.
"Percuma
pemerintah gusur-gusur kami. Mereka kasih uang kerohiman, padahal buat kami itu
uang kezaliman. Kami diusir dari satu tempat, pindah ke tempat lain yang tetap
ilegal," ujar Nenek Dela, pemulung di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara.
Bagi
kaum miskin kota ilegal itu, untuk sekadar memiliki hak atas rasa aman di
tempat tinggal saja tak terpenuhi. Mereka pun kesulitan mengakses bantuan
pemerintah.
Tempat tinggal yang ilegal membuat mereka pun tak bisa membuat kartu tanda
penduduk. Tertutupnya bermacam akses bagi mereka pada akhirnya membuat
anak-anak mereka pun merana. "Kenapa cuma orang berduit yang boleh datang
ke Jakarta. Yang miskin dikejar-kejar tramtib," kata Nenek Dela.
Dian
mengemukakan, alangkah tidak adilnya ketika berbagai pembangunan sejumlah
gedung yang terbengkalai tidak berlanjut, dibiarkan begitu saja.
Gedung-gedung
menganggur itu malah kerap dijadikan tempat pesta disko (rave party) kaum muda
Jakarta. Mal pun terus dibangun meski banyak yang sepi pengunjung. Sementara,
banyak warga miskin yang membutuhkan sekadar sepetak tempat tinggal layak hanya
bisa gigit jari.
Menurut
Dian, masalah kemiskinan di perkotaan memang harus diatasi sejak dari akar
masalahnya. Penuntasan masalah itu harus menjadi tanggung jawabpemerintah pusat
yang menerjemahkannya dalam kebijakan nasional yangprorakyat miskin. Pemerintah
provinsi pun sepatutnya menyikapi persoalan domestik kotanya lebih bijak, bukan
justru menyalahkan si miskin atau si
marjinal,
yang nekat ke kota.
"Paradigma
memandang kemiskinan harus diubah. Bukan salah mereka kalau nekat ke
Jakarta," kata Dian.
Ya,
memang bukan maunya si miskin menceburkan diri di Jakarta, lantas tersesak di
antara lautan mal, apartemen, dan berbagai titisan globalisasi.
Rumahku
adalah istanaku. Kiranya itu sebutan yang terlontar dari bibir Fatimah. Istana
dimaksud adalah sebuah ruangan berukuran 2 x 3 meter, beralas tanah dan
berdinding kayu. Kontrasnya rumah itu menghadap ke sungai Ciliwung yang airnya
mengalir deras hampir mencapai bibir sungai.
Walau
memiliki konstruksi bangunan yang cukup kuat, karena disangga dengan empat
batang kayu, namun di musim hujan kali ini perasaan was was mengintai mereka.
"Waktu banjir datang, rumah ini tidak ada lagi ketutup air," kata
Fatimah.
Rumah
yang ditinggalinya itu adalah warisan peninggalan suami yang semasa hidup
bekerja sebagai petugas kebersihan sebuah sekolah di Otista, Jakata Timur.
Untuk menggantikan sang suami menghidupi ke 3 anaknya, yang masih dibawah 3
tahun Fatimah kini bekerja membantu tetangganya mencuci baju dengan penghasilan
Rp 15.000 per hari.
Pernah
dia membuat usaha berjualan kue ke pasar, namun lantaran tidak ada yang menjaga
ke 3 anaknya, Fatimah kembali menekuni pekerjaan lamanya. Pengalaman sulit juga
dialaminya saat dia harus kehilangan anak ke duanya yang terserang muntahber.
Untuk biaya perawatan di rumah sakit Fatimah sempat mendapat pinjaman dari para
tetangga.
Kemiskinan
mewajah pada ratusan keluarga yang bermukim di bantaran kali di daerah Bukit Duri,
Bidara cina, Kampung Melayu hingga Manggarai, meski dalam banyak hal pengalaman
perempuan seperti Fatimah memperlihatkan wajah kemiskinan yang lebih luas.
Menurut survei Sanggar Akar, lebih dari 65 persen penduduk di wilayah itu
memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Jakarta, 32,97 persen sisanya belum
memiliki KTP karena faktor usia.
Para
ahli mendefinisikan kemiskinan sebagai ketiadaan akses pada hal-hal yang vital
dalam hidup. Kemiskinan absolut berarti tak punya akses kepada sumber daya
dasar yang menopang kehidupan, seperti air bersih, tanah, rumah yang layak,
benih (bagi petani), makanan bergizi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan
lingkungan yang sehat. Dengan demikian, kemiskinan absolut tak bisa direduksi
dengan penghitungan pendapatan yang dibuat lembaga-lembaga internasional, yakni
dua dollar sehari, atau asupan kalori saja. Angka-angka itu menegaskan inflasi
dan kenaikan harga yang meroket, sementara pendapatan tidak bergerak.
Tidak
ada data yang akurat tentang besaran pendapatan warga Jakarta. Paul McCarthy
dari Bank Dunia dalam Global Report (2003), mengutip sebuah lembaga survei di
enam kota besar di Indonesia, menulis, 22 persen penduduk kota hidup dengan
biaya kurang dari Rp 350.000 per bulan pada tahun 2001. Sekitar 20 persennya
hidup dengan sekitar Rp 350.000 sampai Rp 500.000.
Akan
tetapi, mengatakan mereka yang hidup dengan pendapatan di bawah Rp 500.000 per
bulan sebagai "miskin" juga terlalu menyederhanakan persoalan karena
tidak menghitung biaya perumahan dan jumlah keluarga.
Kendati
begitu, tingkat kemiskinan meningkat dalam konsep kerentanan terhadap
kemiskinan sebagai dampak krisis ekonomi. Bank Dunia mencatat, sekitar 50
persen rumah tangga di Indonesia tergolong rentan terhadap kemiskinan.
Di
kota, tingkat kerentanan itu diperkirakan sekitar 29 persen, jauh lebih rendah
dari kawasan pedesaan yang 59 persen. Data ini menjelaskan mengapa semakin
banyak orang pergi ke kota besar untuk mengais rezeki yang semakin sulit di
desa dan di kota-kota kecil.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi terkaya di
Indonesia dan berada di peringkat tertinggi Indeks Pembangunan Manusia dalam
Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004. Meski UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sudah diterapkan, berbagai data memperlihatkan
masih 65 persen peredaran uang di Indonesia menumpuk di Jakarta.
Bisa
dipahami kalau kota ini menjadi semacam tempat "pengungsian" dari
kehidupan yang menekan di tempat lain. Gemerlap Jakarta menjadi seperti lampu
neon yang menarik laron. Laju pertumbuhan penduduknya jauh lebih tinggi
dibandingkan data resmi, menjadikan megacity terbesar di Asia Tenggara ini
penuh paradoks mulai tahun 1970-1980, ketika proses industrialisasi masif
dimulai.
Mereka
yang tergolong kaya bisa membayar makanan sepiring seharga ratusan ribu rupiah,
sementara ribuan orang lainnya memeras keringat untuk Rp 10.000 sehari. Yang
satu menguruskan badan dengan biaya jutaan rupiah, sementara ribuan anak tak
bisa makan tiga kali sehari.
"Itu
yang kini tergambar di wijah Jakarta" kata Kasubdit Studies Harga Konsumen
Badan Pusat Statistik Sasmita. Pada awal tahun masyarakat sudah dihantui dengan
kenaikan harga BBM akibat naiknnya harga minyak dunia. Walau bukan karena
tekanan, hanya minyak goreng dan minyak tanah pun kini juga melonjak.
Dengan
kondisi ekonomi yang dialami Fatimah dan ketiga anaknya, melonjaknya
harga-harga kebutuhan itu merupakan pukulan telak yang tidak bisa dihindari.
Kesulitan yang akan dialami oleh kaum miskin akan semakin besar. "Jakarta
memang barometer perekonomian Indonsia, enam puluh persen perputaran uang ada
di sini, tapi bagi siapa" ujarnya.
Kaum
miskin seperti halnya Fatimah adalah sasaran mudah bagi aksi penggusuran yang
dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI memoles apa yang
disebut sebagai "borok", yakni daerah-daerah kumuh di kota dan
meminta pihak swasta "memodernisasi" kawasan itu dengan
bangunan-bangunan modern pusat konsumsi. Tanah Jakarta seperti tak bisa
bernapas, bahkan sungai pun mengecil, dipenuhi bangunan tinggi, membuat banjir
tak terkendali dan wabah penyakit infeksi meluas.
Daerah
bantaran sungai seperti tempat tinggal Fatimah merupakan wilayah yang rawan
digusur. Padahal, berdasar data yang dimiliki oleh ketua RT 06 Jafar, ia sudah
mendiami wilayah itu sejak 20 tahun lalu. "Pertama ditinggali oleh
lakinya" tuturnya.
Kenyataan
ini seperti ironi jika dihadapkan pada pernyataan pejabat tentang komitmen
memberantas kemiskinan. Sebaliknya, mereka terus menciptakan kambing hitam dan
stigma, membuat bukan kemiskinan yang harus dihadapi, tetapi orang miskin.
Kriminalitas
senantiasa dikaitkan dengan kelompok ini. Padahal, isunya adalah lapangan kerja
bagi kelompok urban tanpa keterampilan, di samping semakin terpinggirnya
penduduk asli.
Riset
lembaga swadaya masyarakat menyebutkan sekitar 2,8 juta penduduk Jakarta
bermukim di 490 wilayah yang dikategorikan sebagai "kantong
kemiskinan". Data penduduk bervariasi, antara 7,8 juta sampai 12,5 juta,
tergantung metodologi yang digunakan
BAB
III
penutup
3.1
Kesimpulan
Dari
makalah yang penulis buat yaitu dari berbagai sumber yang diperoleh maka
diperoleh kesiompulan bahwa DKI Jakarta sampai saat ini belum dapat mengatasi
masalh kemiskinan, Kesimpulan ini diperoleh karena masih besarnya prosentaase
kemiskinan yang ada pada wilayah DKI Jakarta yaitu sebesar 3,62% dari penduduk
yang berjumlah 9.15 juta jiwa
Pemerintah
DKI Jakarta juga telah banyak melakukan cara-cara pengentasan kemiskinan tetapi
kemiskinan juga belum bisa diatasi dengan baik,hal ini dapat dilihat dari
contoh kasus kemiskinan yang terjadi di wilayah DKI Jakarta.
3.2
Saran
Dengan
masih besarnya tingkat kemiskinan di wilah DKI Jakarta maka pemerintah harus
lebih tanggap dalam mengatasi maslah ini. Karena seperti yang kita tau
kemiskinan merupakan slah satu kpenyebab ketidak makmuran masyarakat Indonesia.
Dengan
demikian kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta,harus
berihak padakaum miskin agar mereka tidak semakin tertindas dengan masalah
kemiskinan yang mereka hadapi
Selain
itu harusnya pemerintah DKI Jakarta dapat memperbanyak sector-sektor usaha
angka pengangguran dapat ditekan karena seperti yanmg kita ketahui pengangguran
merupakan salah satu penyebab kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Andre
G.F.1967. Capitalism and the
Underdevelopment in Latin America. Jakarta : Gramedia
BAPPENAS.
2001. Publikasi Susenas
Mini. Jakarta
: BPP
Farhan,
Yuna. 2006 Ekonomi Pembangunan : Teori,
Masalah dan Kebijakan, Edisi Ketiga, Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Hartomo
dan Aziz dalam Dadan Hudyana.2009. Kemiskinan
di Ibukota. Jakarta : Pustaka Media.
Kartasasmita
dalam Rahmawati.2006. Kondisi Kemiskinan
Ibukota dari Masa ke Masa. Jakarta : Media Pressindo
Lewis,
Oscar. 1966. dalam Sastrapratedja, M dkk. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Nasikun
dalam Suryawati. 2005. Kemiskinan di
Indonesia. Yogyakarta : Gramedika Insani.
Shanon,
dkk. 2006. Pembangunan Ekonomi, Edisi 8.
Jakarta : Erlangga.
No comments:
Post a Comment